Wikipedia

Hasil penelusuran

Jumat, 14 Maret 2014

Udang Ketak (Udang Mantis)

Udang Ketak yang baru ditangkap oleh nelayan

Kru Jejak Petualang Trans7 sedang menikmati udang ketak rebus di Kuala Tungkal

Udang Ketak diaklimatisasi sebelum dikirim/diekspor

Udang Ketak atau disebut juga udang ronggeng, udang squila atau udang mantis banyak dijumpai di Indonesia.  Udang ketak menyukai habitat yang berlumpur/berpasir.  Udang ketak hidup di perairan pantai hingga 12 mil laut dengan salinitas antara 20 - 32 per mil. Udang ini hidup dalam lubang dan akan keluar ketika sedang mencari makan.

Udang ketak biasa tertangkap dengan menggunakan alat tangkap jaring dengan ukuran mesh size 4 inchi. Tetapi sering juga tertangkap dengan jaring trawl. Di Tanjung Jabung Barat juga dikenal menangkap udang ketak dengan cara "numbur" yaitu memasukkan kaki ke dalam lubang di dalam lumpur sehingga udang ketak keluar dari dalam lubang sebelahnya. Cara ini sebenarnya tidak direkomendasikan karena bisa membahayakan kaki si nelayan, selain dapat merusak habitat.

Udang ketak hidup harganya bervariasi. Untuk ukuran jumbo atau super (9 inci keatas) di tingkat pengepul (penampung) di Kuala Tungkal bisa mencapai Rp.35.000 - 50.000 per ekor, tergantung musim. Di Kuala Tungkal ada belasan pengepul yang mengirim ke Jakarta. Satu hari pengiriman dari Kuala Tungkal bisa mencapai 8000 ekor dengan ukuran yang bervariasi. Produk pengiriman dari Kuala Tungkal memang tidak murni hasil tangkapan dari nelayan Tanjung Jabung Barat, tetapi sebagian merupakan hasil tangkapan nelayan Tanjung Jabung Timur dan Indragiri Hilir.  Tujuan ekspor adalah Hongkong, Taiwan dan RRC. Udang ketak ini harus dipasarkan dalam bentuk hidup sebab kalau sudah mati maka dagingnya akan terurai dan menempel di kulitnya.

Sayangnya, hingga saat ini belum ada yang membudidayakan dan masyarakat masih mengandalkan hasil tangkapan dari alam. Kiranya perlu dikaji atau diteliti teknologi budidayanya, selain untuk meningkatkan produksinya juga untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.

"Perang" Melawan Sampah

Wilayah pesisir terutama yang berlahan basah seperti daerah berawa-rawa sangat rentan terhadap pencemaran, terutama sampah. Kebiasaan membuang sampah ke pekarangan yang basah diikuti dengan keengganan membersihkan pekarangan menjadikan lingkungan menjadi sarang sampah. Akhirnya pemandangan di lingkungan pemukiman menjadi sangat buruk dan bahkan berbau tidak sedap. Kita cenderung pasrah dengan keadaan dengan alasan kondisinya memang sudah begitu dari "sononya". Padahal sesungguhnya kondisi itu adalah kita yang menciptakan.

Lalu bagaimana cara mengatasinya? Sebenarnya sangat sederhana. Langkah pertama kita deklarasikan "perang" melawan sampah. Sampah harus dijadikan musuh bersama. Langkah berikutnya adalah kita kelola sampah secara swadaya atau mandiri. Misalnya kita pisahkan antara sampah organik dan anorganik. Di China, sampah malah dibagi atau dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu (1) organik, (2) yang dapat didaur ulang dan (3) yang beracun/berbahaya. Pemerintah pun menyediakan tempat sampah dalam bentuk 3 tabung/tong yang diberi warna berbeda.

Jika kita membagi sampah hanya menjadi dua kelompok maka langkah berikutnya adalah, sampah organik bisa dijadikan pupuk kompos atau ditimbun di dalam lubang di tanah pekarangan. Pembuatan lubang ini dapat dilakukan berpindah-pindah. Sedangkan sampah anorganik dapat dikumpulkan dan dimasukkan ke tong-tong sampah yang disediakan oleh pemerintah di pinggir-pinggir jalan agar diangkut oleh mobil sampah. Agar tidak berat, pengangkutan sampah dari rumah menuju tong sampah dilakukan setiap hari. Pengangkutan ini tidak harus dilakukan secara khusus, tapi bisa bersamaan kita keluar rumah seperti berangkat kerja, ke pasar dan lain-lain. Tugas selanjutnya menjadi tanggung jawab pemerintah.  Tetapi kita telah membantu pemerintah dengan cara meringankan beban pemerintah.  Bagi daerah atau lokasi yang tidak terjangkau pengangkutan mobil sampah, dapat ditetapkan lokasi tempat pembuangan akhir sampah dan sampah dibakar. Yuk...kita semua menjadi "pahlawan" yang "berperang" melawan sampah.

Waterfront City


Waterfront city sesungguhnya merupakan konsep pembangunan kota yang berhadapan atau berbatasan dengan air baik itu laut, sungai, danau atau waduk. Dalam pengertian yang lebih familiar, waterfront city adalah kota pesisir. Konsep ini lahir didasari pemikiran bahwa kota-kota di pesisir mengalami tekanan yang berat sehingga rentan terjadinya pencemaran, kekumuhan dan kesemrawutan. Dalam pandangan penulis, waterfront city bukan saja konsep pembangunan kota pesisir atau kota yang berbatasan dengan air, tapi lebih dari itu adalah konsep pembangunan kota yang tidak saja menghadap ke darat tapi juga menghadap ke laut.

Dewasa ini sebagian kita masih menganggap bahwa laut/sungai itu merupakan bagian belakang (istilah kapal : buritan) bukan wajah sehingga segala segala sesuatu yang jelek harus ditaruh di belakang. Makanya di bibir pantai atau sungai berderet terpajang bangunan dapur dan WC. Kemudian karena laut/sungai masih dianggap sebagai buritan maka laut/sungai dijadikan tempat pembuangan akhir sampah. Makanya ketika kita memasuki kota pesisir melalui laut/sungai maka kita akan menyaksikan pemandangan yang kotor, kumuh dan semrawut. Kini mindset kita harus kita ubah, laut/sungai tidak boleh lagi kita anggap sebagai buritan tetapi harus juga sebagai wajah. Tentu saja mengubah mindset ini tidaklah mudah. Pemerintah (daerah) harus menginisiasi perubahan mindset ini dan melakukan sosialisasi kepada masyarakat secara terus-menerus. Pemerintah juga bisa mengatur melalui regulasi misalnya mewajibkan pembangunan gedung di tepi laut harus menghadap dua arah (darat-laut). Jika tidak maka tidak diberi ijin. Tentu saja pemerintah harus terlebih dulu membangun fasilitasnya seperti jalan di atas air.

Negara yang secara konsisten mengembangkan konsep waterfront city dan sekaligus ICM adalah China. Kalau kita baca atau search gambar kota-kota pesisir di China, seluruhnya dikembangkan dengan konsep waterfront city, sebut saja Shanghai, Hongkong dan Macau. Bahkan bandara internasional Macau ada di laut. Pengalaman penulis mengikuti training Integrated Coastal Management (ICM) di kota Xiamen, China setidaknya membenarkan hal tersebut. Xiamen adalah sebuah pulau kecil dengan garis pantai hanya sepanjang lebih kurang 45 km dibangun dengan konsep waterfront city dan ICM.

Indonesia memang tidak sama dengan Cina atau Amerika Serikat, negeri asal usulnya konsep waterfront city. Tetapi sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia layak mengembangkan konsep waterfront city bagi kota-kota pesisirnya. Kota-kota pesisir yang telah mengembangkan konsep waterfront citynya ternyata mendorong peningkatan kunjungan wisata baik domestik maupun mancanegara dan tentunya ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah tersebut. Contoh di Indonesia barangkali kota Makassar yaitu dengan dibangunnya waterfront city Pantai Losari atau yang dijuluki "City of Makassar" (lihat foto di bawah). Dengan dibangunnya Pantai Losari maka tumbuh banyak hotel (termasuk hotel berbintang) dan restoran di seputaran Pantai Losari. Memang kondisi geografis Indonesia tidak sama. Kondisi geografis Sulawesi tidak sama dengan pantai timur Sumatera atau pantai barat/selatan Kalimantan yang kondisi tanahnya berlumpur/bergambut, dimana biaya pembangunan infrastruktur di wilayah pesisirnya lebih mahal sampai 2-3 kali lipat. Tapi bukan berarti tidak bisa. Bisa, kalau kita mau. *****





Pengelolaan Sumber Daya Ikan Berkelanjutan

Tanjung Jabung Barat memiliki perairan yang cukup luas baik laut maupun perairan umum (sungai, danau dan rawa). Perairan laut Tanjung Jabung Barat sampai 12 mil laut sekitar 602 km2 sedangkan perairan umum sekitar 5000 ha. Jenis-jenis ikan ekonomis penting yang ada antara lain bawal putih/hitam, tenggiri, senangin, udang ketak, udang putih, udang dogol, udang galah, kepiting bakau, kerang darah dll.

Namun beberapa jenis ikan/udang tersebut mulai menurun hasil tangkapnya. Udang putih dan udang galah misalnya, pada awal tahun 1990 an masih cukup banyak tertangkap oleh nelayan, tetapi kini setelah 20 tahun sudah makin kurang tertangkap oleh nelayan. Sebenarnya trend menurunnya hasil tangkapan nelayan untuk itu terjadi untuk hampir seluruh jenis ikan dan terjadi di seluruh Indonesia terutama di perairan pantai. Oleh karena itu kita tak bisa lagi mengandalkan perairan pantai dan perairan umum kecuali untuk sektor budidaya ikan.

Banyak faktor yang mempengaruhi penurunan hasil tangkapan ikan di perairan pantai dan perairan umum, antara lain (1) Bertambahnya nelayan/armada penangkap ikan, (2) Penggunaan alat penangkap ikan yang tidak ramah lingkungan, (3) Rusaknya habitat ikan, (4) Pencemaran perairan, (5) Penangkapan ikan dengan alat/bahan yang merusak sumberdaya/habitat (racun, listrik, bahan peledak), (6) Dll.

Bertambahnya jumlah penduduk selain menuntut penambahan pasokan ikan bagi masyarakat juga berkorelasi pada peningkatan jumlah pencari ikan (nelayan) dan biasanya juga jumlah armada penangkap ikan. Jika ini berlangsung terus maka akan berakibat pada terlampauinya jumlah tangkapan yang lestari (MSY) dan kondisi ini akan berdampak pada penurunan hasil tangkapan juga stok sumber daya ikan di perairan. Penggunaan alat tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan misalnya ukuran mata jaring yang terlalu kecil atau penggunaan alat yang menggaruk dasar perairan (trawl). Dalam jangka panjang penggunaan alat ini akan berdampak pada keberlanjutan pengelolaan sumber daya ikan. Pencemaran perairan sangat berpengaruh pada keberlangsungan hidup sumber daya ikan dan biota perairan lainnya, terlebih pencemaran oleh limbah beracun dan berbahaya (B3) seperti merkuri (Hg), timbal (Pb), dll.

Penggunaan listrik dan racun atau bahan peledak sangat berbahaya bagi kelestarian sumber daya ikan. Racun dan bahan peledak dapat menggakibatkan kematian ikan secara massal bahkan termasuk telur ikan bisa tidak menetas. Selain itu racun dan bahan peledak juga merusak habitat ikan.

Bagaimana mengatasi persoalan-persoalan di atas? Setidaknya ada tiga cara yang dapat dilakukan. Pertama, pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelaku pelanggaran dan tindak pidana. Kedua, sosialisasi kepada masyarakat secara kontinyu. Sosialisasi bisa menggunakan alat audio visual agar lebih efektif. Ketiga, memberikan mata pencaharian alternatif bagi nelayan. Upaya ini tentu harus dilakukan secara terpadu dengan melibatkan berbagai instansi terkait.


Kamis, 13 Maret 2014

Sekilas Kabupaten Tanjung Jabung Barat

Kabupaten Tanjung Jabung Barat merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jambi, terletak di pantai timur Sumatera. Sebelum mengalami pemekaran, Kabupaten Tanjung Jabung Barat sebelumnya masuk dalam Kabupaten Daerah Tingkat II Tanjung Jabung. Setelah mengalami pemekaran pada tahun 2000, Kabupaten Tanjung Jabung dipecah menjadi Kabupaten Tanjung Jabung Barat (yang merupakan induk) dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur (yang merupakan pemekaran). Kabupaten Tanjung Jabung Barat dengan ibukota Kuala Tungkal dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur dengan ibukota Muara Sabak.

Secara administratif, Kabupaten Tanjung Jabung Barat berbatasan dengan :
- Sebelah Barat : Kabupaten Tebo
- Sebelah Timur : Kabupaten Tanjung Jabung Timur
- Sebelah Utara : Selat Berhala/Kepri/Indragiri Hilir
- Sebelah Selatan : Kabupaten Muaro Jambi

Kabupaten Tanjung Jabung Barat terdiri dari 13 kecamatan dan 134 desa/kelurahan. Secara umum wilayah kabupaten Tanjung Jabung Barat dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu wilayah basah dan wilayah kering. Wilayah basah terletak di bagian timur yaitu meliputi kecamatan Tungkal Ilir, Seberang Kota, Kuala Betara, Betara, Bram Itam, Pengabuan dan Senyerang. Sedangkan wilayah basah meliputi kecamatan Tebing Tinggi, Tungkal Ulu, Merlung, Batang Asam, Muara Papalik dan Renah Mendaluh. Dari wilayah basah, tiga kecamatan termasuk kecamatan pesisir yaitu Tungkal Ilir, Seberang Kota dan Kuala Betara.

Panjang garis pantai Tanjung Jabung Barat sekitar 45 km mulai dari perbatasan dengan kabupaten Indragiri Hilir hingga perbatasan dengan kabupaten Tanjung Jabung Timur.

(Bersambung.....)

Wisata Alam Hutan Mangrove Pangkal Babu

Wisata Alam Hutan Mangrove Pangkal Babu



Pangkal Babu adalah kawasan ujung Desa Tungkal I Kecamatan Tungkal Ilir Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Kawasan ini masih didominasi oleh hutan mangrove dan perkebunan kelapa dalam serta tambak ikan. Pada kawasan ini hutan mangrove masih terpelihara dengan baik dengan ketebalan hingga 500 meter dari bibir pantai. Spesies mangrovenya cukup lengkap, ada sekitar 11 spesies mangrove di kawasan ini.

Kawasan ini sangat cocok untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata alam hutan mangrove. Kabarnya, masterplan kawasan wisata hutan mangrove Pangkal Babu ini sudah dibuat oleh pemerintah daerah setempat. Saya kira, masyarakat akan sangat mendukung sekali jika kawasan ini dijadikan wisata alam. Wisata alam dan pariwisata pada umumnya akan dapat meningkatkan ekonomi kerakyatan terutama sektor UMKM dan jasa, yang pada umumnya diusahakan oleh pelaku ekonomi kecil. Pengembangan wisata alam Pangkal Babu juga bisa disinergikan dengan wisata Water Front City (WFC) Kuala Tungkal dan Tungkal Ancol Beach. Kawasan lain yang juga dipadukan adalah Pelabuhan Marina, Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) dan Pelabuhan Roro.

Kabupaten Tanjung Jabung Barat memiliki keunggulan komparatif dalam pengembangan wisata alam hutan mangrove Pangkal Babu, antara lain tersedianya aneka macam kuliner khas lokal seperti masakan sea food (Udang Ketak, Cumi-cumi, Kepiting Bakau, ikan Bawal, Kerang dll).

Ditinjau dari ketersediaan infrastruktur, sudah cukup lumayan. Jarak Pangkal Babu - Pusat Kota Kuala Tungkal sekitar 5 Km dan dapat ditempuh dengan kendaraan roda 4 sekitar 3 Km. Sementara 2 Km lagi bisa ditempuh dengan kendaraan roda 2. Sesungguhnya telah dilakukan pengerasan jalan pada segmen yang 2 Km tersebut, tetapi masih terhambat oleh jembatan yang cukup tinggi. Masih diperlukan peninggian jalan di sekitar ujung-ujung jembatan agar bisa dilalui kendaraan roda 4.

Pengembangan wisata pada umumnya harus didukung dengan penataan kota yang baik dan kebersihan lingkungan. Masyarakat harus ditumbuhkan kesadarannya untuk bisa menjaga kebersihan lingkungan secara mandiri. Kebersihan lingkungan harus menjadi gerakan moral masyarakat. Untuk mewujudkan hal ini bisa disinergikan dengan program kali bersih (prokasih) dan program bersih laut. Sikap masyarakat juga harus diubah melalui edukasi terutama terhadap pengunjung atau wisatawan.  Masyarakat harus bersikap ramah, informatif dan pelayanan.

Untuk mewujudkan ekowisata mangrove Pangkal Babu, sektor-sektor terkait harus dilibatkan dan jika perlu dibentuk kelompok kerja (pokja) pengembangan pariwisata. ---(bersambung)-----